Monday, September 16, 2013

Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Pagi tadi saya sangat terkejut ketika melihat berita di televisi yang mengabarkan bahwa Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa telah meninggal dunia, Minggu(15/9/2013).
Pimpinan Majelis Rasulullah ini menghembuskan nafas terakhir pada pukul 15.30 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa atau lebih dikenal dengan Munzir bin Fuad bin Abdurrahman Almusawa lahir di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, 23 Februari 1973. Beliau adalah pimpinan Majelis Rasulullah. Beliau merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Fuad bin Abdurrahman Al-Musawa dan Rahmah binti Hasyim Al-Musawa. Ayah beliau bernama Fuad yang lahir di Palembang dan dibesarkan di Mekkah.
Ini berarti satu lagi ulama yang telah di panggil ke hadirat Allah SWT di negeri kita yang tercinta ini. Setelah beberapa waktu yang lalu Uje juga telah berpulang ke rahmatullah akibat sebuah kecelakaan tunggal.
Kejadian- kejadian tersebut mengingatkan saya akan salah satu hadits yang terkenal. Dalam hadits tersebut Al-Bukhari meriwayatkan dari Syaqiiq, ia berkata : “Aku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa. Mereka berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

“Sesungguhnya menjelang hari kiamat kelak, akan ada hari-hari yang diturunkanya kebodohan dan diangkatnya ilmu”.[ Shahih Al-Bukhari, Kitaabul-Fitan, Baab Dhuhuuril-Fitan]

Lalu apakah hubungannya? Diangkatnya ilmu terjadi dengan diangkatnya (diwafatkannya) para ulama, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : .

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari manusia. Namun Allah akan mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak tersisa lagi seorang berilmu (di tengah mereka), manusia mengangkat para pemimpin yang jahil. Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang lain)”.[ Shahih Al-Bukhariy, Kitaabul-‘Ilmi, Baab Kaifa Yaqbidlul-‘Ilm ]

An-Nawawy berkata:
“Hadits ini memberikan penjelasan akan maksud ‘diangkatnya ilmu’ - sebagaimana tertera dalam hadits-hadits secara mutlak – bukanlah menghapuskannya dari dada para penghapalnya. Namun maknanya adalah : wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian mengambil orang-orang bodoh yang menghukumi sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”.[Syarhun-Nawawiy li-Shahih Muslim ]

Dan yang dimaksud dengan ‘ilmu’ di sini adalah ilmu mengenai Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, yang itu merupakan ilmu warisan dari Rasulullah SAW. Dan ulama adalah pewaris para nabi. Oleh karena itu, kepergian mereka sama dengan perginya ilmu, matinya sunnah, berkembangnya bid’ah, dan meratanya kebodohan. Adapun ilmu keduniaan, maka itu merupakan tambahan. Bukanlah ia yang dimaksud dalam hadits-hadits, dengan alasan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang lain)”. Kesesatan hanyalah terjadi karena kebodohan dalam agama. Dan ulama yang hakiki adalah ulama yang mengamalkan ilmu-ilmu mereka, mengarahkan dan menunjukkan umat ke jalan lurus dan petunjuk. Ilmu tanpa disertai amalan tidaklah banyak bermanfaat. Bahkan dapat menjadi bencana bagi pemiliknya.

Wallahu 'alam bishshowab.

READ MORE - Diturunkannya Kebodohan dan Diangkatnya Ilmu

Tuesday, September 10, 2013

Begitu banyak ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan orang-orang yang berilmu atas orang yang tidak berilmu. Pepatah mengatakan bahwa ilmu lebih utama daripada harta karena ilmu akan menjaga pemiliknya sedangkan harta sebaliknya, pemiliknyalah yang harus menjaganya. Dan sesungguhnya, iman seseorang kepada Allah SWT dan hari akhir itu haruslah dibangun di atas ilmu. Tidak mungkin seseorang dapat memiliki iman kepada hal-hal tersebut tanpanya. Tanpa ilmu, seseorang hanya akan beragama tanpa memiliki dasar yang kuat dan hanya ikut-ikutan saja. Akhirnya imannya akan mudah goyah oleh syubhat-syubhat yang kini begitu merajalela. Di bawah ini adalah beberapa keutamaan orang-orang yang berilmu:
  • Dalam surat Al-Mujadalah Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman:“…Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…” (Al-Mujaadalah: 11)
  • Rasulullah pernah bersabda: “Keutamaan Orang Alim atas ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah dari sahabatku.” (HR. Ad Dailami).
  • Beliau juga bersabda dalam sabdanya yang lain: “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi)
  • Dalam hadits-hadits beliau, Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah meminta kepada Allah untuk ditambahkan kepada beliau kecuali ilmu. Seandainya ada sesuatu yang lebih utama dari ilmu, pastilah beliau akan mengajarkan ummatnya untuk meminta hal tersebut.
    • Tidurnya orang yang berilmu lebih ditakuti daripada sholatnya orang yang jahil/ tidak berilmu. Hal ini bisa terjadi karena tidurnya orang yang berilmu pastilah bertujuan untuk istirahat agar dia mampu beribadah lagi kemudian. Selain itu, orang yang mengamalkan ilmunya akan tidur dengan mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah di dalamnya sehingga tidurnya tersebut akan bernilai ibadah. Sedangkan, ibadahnya orang yang bodoh akan rawan terhadap bid’ah dan justru menjadikan syetan menyukainya.
     
    Demikianlah beberapa dalil yang menunjukkan besarnya kutamaan-keutamaan orang yang berilmu atas orang yang ahi ibadah.Disamping dalil-dalil lainnya yang tidak bisa saya tuliskan disini. Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam setiap dalil tersebut, kata ilmu selalu didahului oleh alif-lam yang menunjukkan bahwa hanya ilmu-ilmu tertentu saja yang wajib untuk dicari oleh setiap muslim. Ilmu apa sajakah itu?
    Ibnu Hajar Al-Atsqolani menyebutkan dalam kitab Fathul Baari bahwa ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain untuk dicari oleh setiap muslim adalah: “Ilmu syar’i yang bermanfaat mengetahui kewajiban mukallaf dari perkara din-nya, baik urusan ubadah dan mu’amalah. Serta ilmu tentang Allah, sifat-Nya, dan kewajiban kita terhadap urusan tersebut, dan menyucikan-Nya dari kekurangan. Adapun semua itu berputar pada tafsir, hadits, dan fiqh.” (Fathul Baari 1/141)
    Wallaahu A’lam bis Shawwab
    READ MORE - Tidurnya Orang Berilmu Lebih Bernilai Daripada Ibadahnya Orang Yang Jahil

    Monday, August 19, 2013

    Orang Yang Terakhir Keluar Neraka

    Bismillahir-Rahmaanir-Rahim
    Abu Hurairah telah menceritakan kepada Atha’ nin Yazid Al-Laitsi bahwa para sahabat telah bertanya kepada Rasululla saw., “Apakah engkau akan melihat Tuhan kami kelak pada hari kiamat?” Maka Rasulullah saw. balik bertanya, “Apakah kamu sekalian merasa kesulitan melihat bulan pada malam purnama?” Mereka menjawab, “Tidak.” Selanjutnya Rasulullah saw, bertanya lagi, “Apakah kalian merasa kesulitan melihat matahari yang tidak ada awan yang menghalangi?” Mereka menjawab, “Tidak.”
    Mendengar jawaban itu, Rasulullah bersabda, “Seperti itulah kamu sekalian akan melihat-Nya.” Kemudian Rasulullah saw. meneruskan perkataaannya, “Pada hari kiamat nanti Allah akan mengumpulkan seluruh umat manusia, lalu Allah berfirman kepada mereka, "Hendaknya setiap orang mengikuti sesuatu yang disembahnya selama di dunia." Oleh karena itu, orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, dan orang yang menyembah berhala mengikuti berhala. Sedangkan orang-orang munafik dari kalangan umat Muhammad tetap berdiri di tempat dan tidak bergerak sama sekali (karena yang disembah oleh mereka tidak jelas).

    Kemudian Allah mendatangi kaum muslimin dalam wujud yang tidak dikenali oleh mereka, seraya Allah berfirman kepada mereka, "Aku ini adalah Tuhanmu." Mendengar itu, mereka berkata, '‘Kami berlindung kepada Allah dari bujuk rayumu, dan kami akan tetap berdiri di tempat ini sampai datang kepada kami Tuhan kami yang sebenarnya." Kemudian Allah datang kepada mereka dalam wujud yang mereka kenal, dan Allah berfirman kepada mereka, "Aku ini Tuhanmu yang sebenarnya." Pada saat mereka mendengarnya dan mereka merasa yakin bahwa itu Tuhannya, maka mereka berkata, ‘Engkaulah Tuhan kami yang sebenarnya.’ Setelah itu mereka mengikuti-Nya.

    Kemudian Allah swt. menciptakan sebuah titian yang membentang di atas api neraka, maka aku –Rasulullah saw.—dan umatku menjadi umat yang pertama menyeberangi titian itu. Pada saat itu tidak ada seorang pun yang dapat berbicara selain para rasul, dimana ketika itu para rasul berdoa, ‘Ya Allah, selamatkanlah, ya Allah, selamatkanlah.’ Sementara di dalam neraka Jahanam terdapat besi-besi yang melengkung bagaikan lengkungan pancing, seperti duri pohon Sa’dan (nama pohon yang berduri). Kemudian Rasulullah bertanya kepada sahabat yang hadir, ‘Apakah kalian pernah melihat duri pohon Sa’dan?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’

    Mendengar hal itu, Rasulullah saw. bersabda, ‘Seperti itulah besi-besi yang melengkung itu, hanya saja besarnya tidak terkirakan, dan hanya Allah yang mengetahui ukurannya. Besi-besi inilah yang kelak akan mengait orang-orang yang sedang meniti titian itu sesuai dengan kadar dosa masing-masing. Dimana orang yang teguh dengan amalnya akan selamat dari kaitannya, sementara orang yang berdosa akan terkait (tersangkut), tetapi akhirnya dilepaskan.

    Setelah Allah selesai mengadili hamba-hamba-Nya, dan Dia berkehendak mengeluarkan penghuni neraka dengan rahmat-Nya, maka Allah memberikan perintah kepada para malaikat-Nya untuk mengeluarkan mereka yang patut mendapat rahmat-Nya, yaitu orang yang tidak pernah menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun selama hidup di dunia. Di antara orang yang patut mendapatkan rahmat-Nya adalah orang yang mengatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah. Kemudian para malaikat yang mendapat perintah itu segera mengenali mereka, dan mereka mengenalinya melalui tanda bekas sujud yang ada pada kening mereka karena hanya bekas sujudlah bagian tubuh manusia yang tidak akan hangus dibakar api neraka, dimana Allah telah mengharamkan api neraka untuk membakarnya dan menghanguskannya.

    Kemudian para malaikat segera mengeluarkan mereka dalam keadaan yang sudah pada hangus, lalu disirankan ke tubuh mereka air kehidupan (air pemulihan). Akibat siraman air kehidupan itulah, akhirnya mereka tumbuh dan pulih kembali seperti sediakala bagaikan tumbuhnya biji-bijian setelah terjadi banjir besar (dimana mereka tumbuh dalam keadaan masih muda dan besar).

    Setelah Allah selesai mengadili dan memvonis di antara hamba-hamba-Nya, tiba-tiba terlihat seseorang (yang masih tertinggal) yang sedang mengarahkan pandangannya ke arah neraka, dan dialah orang yang paling terakhir masuk surga. Kemudian kepada Allah, dia memohon, ‘Wahai Tuhanku, palingkan mukaku dari neraka karena baunya telah meracuniku, dan kobaran apinya telah membakarku.’ Permohonan itu diulanginya berulang kali, dan akhirnya Allah berfirman kepadanya, ‘Seandainya Aku mengabulkan permintaanmu ini, apakah kiranya kamu tidak akan mengajukan permohonan yang lain?’ Maka orang itu menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian dia berjanji dengan sungguh-sungguh kepada Allah bahwa dia tidak akan mengajukan permohonan apapun lagi.

    Akhirnya permohonan itu dikabulkan Allah, dimana Allah memalingkan muka orang itu dari neraka. Akan tetapi ketika dia dihadapkan ke arah surga dan dia menyaksikan kemegahan yang ada di baliknya, maka dia terdiam dalam beberapa saat, lalu dia memohon kepada Allah, ‘Wahai Tuhanku, sampaikanlah aku ke dalam pintu surga.’ Mendengar hal itu, Allah berfirman kepadanya, ‘Bukankah kamu telah berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa kamu tidak akan memohon lagi kepada-Ku selain permohonanmu yang telah Aku kabulkan tadi? Celakalah kamu, wahai anak Adam, kamu telah memungkiri janjimu sendiri, dan Aku tidak akan mengabulkan permohonanmu ini.’ Akan tetapi dia tetap memohon kepada Allah untuk dikabulkan permohonannya, sehingga Allah berfirman kepadanya, ‘Seandainya permohonanmu ini Aku kabulkan, apakah kamu tidak akan memohon yang lainnya lagi kepada-Ku?’ Orang itu menjawab, ‘Demi kemuliaan-Mu, sungguh aku tidak akan mengajukan permohonan lagi.’

    Kemudian Allah mengabulkan permohonannya itu. Allah membawanya ke depan pintu surga. Setibanya dia di depan pintu surga, Allah membuka pintu surga itu lebar-lebar sehingga orang itu melihat keindahan dan kebahagiaan yang ada di dalamnya. Menyaksikan itu, orang itu terdiam beberapa saat, lalu memohon kepada Allah, ‘Wahai Tuhanku, masukanlah aku ke dalam surga.’ Mendengar itu, Allah berfirman kepadanya, ‘Bukankah kamu telah berjanji bahwa kamu tidak akan mengajukan permohonan lagi kepada-Ku setelah permohonanmu yang tadi Aku kabulkan? Celaka kamu, wahai anak Adam, kamu telah memungkiri janjimu sendiri, dan Aku tidak akan mengabulkan permintaanmu itu.’

    Akan tetapi orang itu terus menerus memohon kepada Allah, ‘Wahai Tuhanku, janganlah kiranya hamba-Mu ini menjadi orang yang paling celaka.’ Kemudian ia mengulang-ulang permohonannya, sehingga hal itu menyebabkan Allah tertawa. Allah berfirman kepadanya, ‘Masuklah kamu ke dalam surga.’ Pada saat orang itu masuk ke dalam surga, Allah berfirman kepadanya, ‘Sekarang angankanlah segala keinganmu.’ Kemudian orang itu memohon kepada Allah dengan mengajukan berbagai macam keinginannya dan mencita-citakan berbagai macam kenikmatan, sampai Allah mengingatkannya kepada berbagai menikmatan yang tidak diketahuinya. Lalu Allah berfirman kepadanya, ‘Nikmatilah olehmu kemewahan dan kenikmatan yang telah disediakan ini, bahkan akan ditambah lagi dengan berbagai kenikmatan sebanyak itu pula.”

    Atha’ bin Yazid berkata, “Ketika Abu Sa’id Al-Kudri mendengarkan Abu Hurairah menuturkan hadits itu, tidak ada bagian dari hadits itu yang dipertanyakannya, selain firman Allah terhadap orang tadi: ‘Nikmatilah olehmu kemewahan dan kenikmatan yang telah disediakan ini, bahkan akan ditamabah lagi dengan berbagai kenikmatan sebanyak itu pula.’

    Abu Sa’id Al-Kudri berkata, ‘Wahai Abu Hurairah, apakah kenikmatan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat?’ Abu Hurairah menjawab, ‘Aku tidak mengetahuinya selain aku mendengarnya seperti itu dari Rasulullah saw., dimana beliau bersabda, ‘ kemewahan dan kenikmatan yang telah disediakan ini, bahkan akan ditamabah lagi dengan berbagai kenikmatan sebanyak itu pula.’ Kemudian Abu Sa’id Al-Kudri berkata, “Aku bersumpah bahwa aku telah mendengar dari Rasulullah saw. dimana beliau bersabda, ‘Nikmatilah olehmu kemewahan dan kenikmatan yang telah disediakan ini, bahkan kenikmatan ini akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat dengan berbagai kenikmatan sebanyak itu pula.’” (Hadits shahih, Shahih Muslim nomor 182; Shahih Bukhari nomor 7437)

    Wallahu'alam bish showab
    READ MORE - Orang Yang Terakhir Keluar Neraka

    Sunday, August 18, 2013

    Mengharapkan Husnul Khotimah

    Sebagian dari salafusshalih memikirkan dan membayangkan, seakan berada dalam pikiran tertentu dan dalam kesedihan hingga tidak sadarkan diri, dalam arti tidak merasakan lagi apa yang di depannya, siapa yang di sekitar mereka atau apa yang sedang mereka ucapkan. Ini berkaitan dengan akhlak dan sifat mulia salafussoleh. Mereka sangat takut jika tiba-tiba dicabut nyawa mereka. Takut karena kemungkinan meninggal - naudzu billah- dalam keadaan su’ul khotimah dan hal itu selalu menghiasi pikiran mereka.
    Imam Hasan Basri, sayyidut tabi’in, dalam kesehariannya selalu terlihat seakan sedang mendapat musibah. Orang di sekitar beliau selalu mendapatinya dalam kemurungan bagai seorang anak yang baru saja kehilangan sosok ibu yang sangat ia cinta. Apa yang tampak pada raut wajah beliau yang terlihat murung itu adalah karena ketakutan yang selalu ada dalam pikiran beliau, takut akan jatuh pada murkaNya, takut akan melanggar perintahNya. Jangankan Imam Hasan Bashri yang seorang tabi’in, Rasulullah yang telah mendapat jaminan ampunan dari Allah saja selalu merapalkan doa, Ya Muqollibal Qulub, Tsabbit Qolbi Ala Dinik, “Duhai dzat yang mengatur hati, tetapkanlah hatiku ini atas agamamu”. Sebuah permintaan untuk diberi ketetapan hati dalam Islam.
    Para sahabat yang selalu memperhatikan setiap gerak Rasulullah heran mendengar doa yang seringkali dipanjatkan nabi tersebut. Perasaan heran itu muncul dengan alasan, kenapa Rasulullah masih memanjatkan doa seperti tersebut tadi padahal beliau merupakan nabi terbaik bahkan makhluk paling mulia. Dengan kesempurnaan yang ia miliki, tidak serta-merta beliau menyikapi hidup dengan tenang. Besarnya kualitas taqwa, menjadikan beliau sebagai sosok yang benar-benar takut kepada Allah swt. Para sahabat pun bertanya, kenapa engkau berdoa seperti itu wahai Rasulullah? Maka Rasulullah menjawab, “apa yang membuatku merasa aman (untuk husnul khatimah)? Sesungguhnya hati seseorang berada dalam genggaman (kekuasaan) allah. Allah yang mengatur sesuai kehendaknya. Jika ingin, akan menjadi nasrani. Dan jika ingin akan menjadi yahudi.”
    Al-habib Abdullah bin Alwi al-Haddad di dalam ratib beliau yang masyhur saja sampai mengulang bacaaan ya dzal jalali wal ikrom amitna ‘al dinil islam sampai tujuh kali padahal mayoritas bacaaan wirid yang lain hanya dibaca tiga kali. Beliau berdoa kepada Allah agar dimatikan kelak dalam keadaan Islam. Beliau sendiri kadang-kadang terlihat sedih dan kadang kadang terlihat takut bahkan sampai menangis. Ketika ditanya mengapa beliau menangis, beliau menjawab, “aku teringat akan siksa kubur, aku teringat azab kubur.” Mereka menimpali pernyataan habib Abdullah dan berkata, “wahai Habib, engkau adalah waliyullah, engkau telah melakukan berbagai amal kebajikan.” Maka beliau menjawab, “siapa yang dapat menjamin aku aman dari siksa kubur ketika aku di dalam kuburan? siapakah di antara kalian yang dapat menjamin aku akan aman dari azab dan murka Allah.” Hal ini mengindikasikan bahwa sosok sekaliber beliau pun masih merasa takut luar biasa terhadap siksa kubur dan azab Allah. Beliau tidak merasa aman kelak diambil oleh Allah dalam keadaan memeluk agama Islam.
    Begitulah memang seharusnya perasaan yang dimiliki orang yang bertakwa kepada Allah. Semakin bertambah kualitas imannya kepada Allah maka akan bertambah lah takutnya kepada Allah. Orang yang begitu yakin bahwa dia adalah orang yang pasti masuk surga, yakin ia akan aman dari azab dan siksa kubur maka ia adalah orang yang paling berpeluang dicabut imannya. “tidaklah merasa aman seseorang dengan imannya kecuali dikhawatirkan orang tersebut akan dicabut imannya”. Ingatlah, sesungguhnya Rasulullah sudah mengingatkan dalam hadisnya, bahwa".. salah seorang dari kalian akan beramal dan berbuat kebaikan seperti ahli surga sehingga tinggal sejengkal saja jarak antara ia dan surga, akan tetapi ia melakukan perbuatan ahli neraka lalu sebab karena perbuatannya tersebut, ia masuk neraka. " (Shahih Bukhari )
     
    Berkata Al-habib Abdullah bin Alwi al-Haddad: “barang siapa yang ketika umurnya telah sampai 40 tahun akan tetapi pikirannya masih terikat pada dunia dan kemaksiatan maka syaithan berkata orang ini tidak akan bahagia dan beruntung selamaya.”
    Imam Hasan al-bashri ketika mendengar hadist yang menerangkan bahwa orang terakhir yang akan keluar dari neraka adalah seorang dari Bani Juhainah yang keluar dari neraka setelah disiksa di sana selama seribu tahun, beliau berkata aku berharap akulah orang tersebut. Orang-orang berkata: mengapa engkau berkata seperti itu wahai imam? Maka beliau menjawab: “bukankah ia pasti keluar dari neraka?”. Artinya bisa jadi kita ini masuk neraka dan tidak akan keluar lagi dari sana selama-lamanya. Kalau sudah begitu bukankah orang dari bani Juhainah tersebut lebih baik dari kita. Ia mendapat jaminan dari Rasulullah pasti keluar dari neraka, sedangkan kita, siapa yang dapat menjamin kita akan keluar dan selamat dari siksa neraka?
    Setiap mukmin yang meninggal dalam membawa iman walau seberat biji dzarrah pasti akan masuk surga, namun apakah ia langsung masuk surga ataukah akan mampir terlebih dahulu, hal itu tergantung pada amal yang dia lakukan selama hidup di dunia. Apabila selama hidup di dunia ia melakukan berbagai macam maksiat tetapi ketika meninggal ia membawa iman, maka ia akan masuk surga pada akhirnya, walaupun ia harus menjalani hukuman terlebih dahulu di neraka. Seperti halnya tas yang kotor, tas tersebut tidak mungkin akan langsung dimasukkan ke lemari penyimpanan akan tetapi akan dicuci terlebih dahulu. Begitu juga seorang mukmin, apabila ia meninggal dalam keadaaan beriman tetapi membawa beban dosa, maka ia akan dibersihkan dulu dari dosa-dosanya di neraka, setiap anggota tubuh yang melakukan maksiat akan dicuci dan dibersihkan sesuai dengan tingkatan dan macam siksa neraka yang telah disiapkan oleh Allah. 
    Nas’alullah al-afwa wal afiyah wa husnal khotimah.
    READ MORE - Mengharapkan Husnul Khotimah

    Dzalim Dan Durhaka Kepada Orang Tua

    "Sesungguhnya orang yang beriman itu, apabila melakukan suatu dosa, maka ternodai oleh noda hitam di dalam hatinya. Apabila dia bertaubat, berhenti dan meninggalkan (maksiat tersebut), maka hatinya akan cemerlang kembali. Apabila dia menambah (dosa itu), maka noda hitam itu akan bertambah sehingga menutupi hatinya" (HR. Al-Nasa’i dan al-Tirmidzi, hadis Hasan Shahih).

    Ibaratnya setiap kali kita melakukan dosa, maka akan tercetak noda hitam satu titik di hati, kalau dosa itu terus dilakukan maka titik hitam itu akan bertambah banyak, sehingga pada gilirannya hati itu akan tertutupi dengan titik-titik hitam. Hati yang telah hitam menandakan hati yang telah mati , sehingga cahaya iman akan sulit menembusnya.
    Perbuatan dosa itu ada yang ditangguhkan balasannya pada hari kiamat dan ada pula yang disegerakan di dunia. Ada beberapa dosa yang di segerakan adzabnya di dunia, di antaranya adalah dzalim dan durhaka pada orang tua.

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :"Ada dua pintu (amalan) yang disegerakan balasannya di dunia; kedzaliman dan durhaka (pada orang tua)". (HR. Hakim dan dishahihkan al-Albani dalam ash-Shahihah : 1120)

    Hal ini dikarenakan terkabulnya doa orang tua, apalagi di saat orang tua terdzalimi, kemudian ia menengadahkan tangannya ke langit, mengadukan sakit hatinya kepada Allah, maka doa orang tua ini akan bergerak dan berhembus menuju angkasa, menembus awan, mencapai langit, dan diamini oleh para malaikat, kemudian Allah Ta’ala mengabulkannya. Maka berhati-hatilah wahai kaum muslimin dari berbuat dzalim dan durhaka kepada kedua orang tua!

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :"Tiga doa yang tidak tertolak : doa orang tua, doa orang yang berpuasa dan doa orang yang terdzalimi." (HR. al-Baihaqi dalam Sunan Kubra : 6185 dan dishahihkan al-Albani dalam ash-Shahihah : 1797)

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :"Takutlah terhadap doa orang yang terdzalimi, karena ia akan terbang di atas awan, kemudian Allah berkata : ‘Demi kemuliaan dan kebesaranKu, Aku pasti menolongmu meskipun setelah berlalunya waktu". (Dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ : 117)

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :"Takutlah terhadap doa orang yang terdzalimi, karena ia akan terbang menuju langit." (Dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ : 118)

    Hal ini juga menunjukkan betapa agungnya hak kedua orang tua kita, sampai-sampai Allah SWT meletakkan kewajiban berbakti kepada kedua orang tua setelah kewajiban menyembah kepadaNya, Allah Ta’ala berfirman ;"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu. (QS. an-Nisa’ : 36)

    Wallahu a'lam bishshowab
    READ MORE - Dzalim Dan Durhaka Kepada Orang Tua

    Janganlah Kalian Banyak Tertawa

         Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian banyak tertawa karena banyak tertawa akan mematikan hati” (HR At-Tarmizi). Islam memang mensyariatkan kaum Muslim untuk banyak tersenyum karena senyum juga merupakan sodhakoh. Tetapi Islam juga melarang banyak tertawa, karena segala sesuatu yang berlebih-lebihan atau melampaui batas akan membuat hati menjadi mati.

         Dalam Hadits yang lain yang diriwayatkan Aisyah RA isteri Nabi Muhammad SAW, bahwa dia berkata, “Saya tak pernah melihat Rasulullah SAW tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan tenggorokan beliau, beliau biasanya hanya tersenyum.” (HR Bukhari-Muslim).
        Daripada Abu Dzar r.a., dia berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah tertawa selain daripada senyuman” (HR Muslim & Ahmad).

         Rasulullah SAW juga bersabda: “Jika kamu tahu apa yang aku tahu niscaya kamu banyak menangis dan sedikit tertawa.” Sabda Beliau lagi: “Siapa yang berbuat dosa dalam tertawa, akan dicampakkan ke neraka dalam keadaan menangis”. 

        Hassan al-Banna juga pernah berpesan: “Janganlah banyak tertawa, kerana hati yang sentiasa berhubung dengan Allah itu, selalunya tenang dan tenteram.” Pesannya lagi: “Janganlah bergurau, kerana umat yang sedang berjuang itu tidak mengerti melainkan bersungguh-sungguh dalam sembarang perkara. Tertawa yang berlebihan tanda lalai dan kejahilan. Tertawa seorang ulama dunia hilang ilmu, hilang wibawanya. Tertawa seorang jahil, semakin keras hati dan perasaannya”.
              
         Banyak tertawa dan tertawa yang berlebihan, mematikan hati dan melemahkan tubuh. Menurut Imam Al Ghazali, jika hati mati hati tak akan bisa menerima peringatan Al Qur’an dan tak akan mau menerima nasihat. Manusia dengan hati yang mati diibaratkan sebagai bangkai yang berjalan. Para ulama mengatakan tidaklah kita temui orang yang paling banyak tertawa kecuali dia adalah orang yang paling jauh dari Al Qur’an.

         Tertawa sesekali atau ketika keadaan mengharuskan untuk tertawa adalah hal yang diperbolehkan. Yang perlu diingat dan diperhatikan bukan termasuk tuntunan Nabi SAW, jika tertawa sampai terbahak-bahak. Tertawa yang tidak terkendali bisa berdampak buruk bagi diri dan orang lain. Imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Banyak dalil yang menjelaskan larangan tertawa yang berlebih-lebihan karena sering tertawa pasti berdampak tidak baik.”
         
         Orang-orang yang sering tertawa berlebih-lebihan akan menerima dampak yang buruk, hati akan sulit mengingat Allah. Kadangkala ejekan diwujudkan dalam bentuk tawa, lantas bagaimana jika yang diejek adalah ahli ibadah? Orang yang suka mengundang tawa biasanya berbohong untuk membuat orang lain tertawa.

         Menertawakan Allah SWT ayat-ayat-Nya, para nabi dan rasul-Nya akan menyebabkan jatuh kepada perbuatan kufur, “Jika kamu menanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sungguh, kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main.’ Katakanlah, ‘Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu mengolok-olok?’ Kalian tidak usah meminta maaf karena kalian menjadi kafir sesudah beriman….” (QS. At-Taubah: 65-66). Allah SWT berfirman, “Maka tatkala dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizat-mukjizat Kami dengan serta merta mereka menertawakannya.” (QS. Az Zukhruf: 47).

          Menertawakan orang yang mengamalkan Sunnah Rasulullah SAW dihukum Allah SWT dengan lupa dari mengingat Allah. “Lalu kamu menjadikan mereka buah ejekan, sehingga (kesibukan) kamu mengejek mereka, menjadikan kamu lupa mengingat Aku dan adalah kamu selalu menertawakan mereka.” (QS Al Mu’minun:110)
      
         Seorang Hukama pernah bersyair: “Aku hairan dan pelik, melihat orang tertawa kerana perkara-perkara yang akan menyusahkan, lebih banyak daripada perkara yang menyenangkan.” Golongan salafussalih menangis walaupun banyak beramal, takut tidak diterima ibadahnya, Kita tertawa walaupun sadar diri kosong dari amalan.
      
         Tanyailah orang-orang shalih mengapa dia tidak berhibur: “Bagaimana hendak bergembira sedangkan mati itu di belakang kami, kubur di hadapan kami, kiamat itu janjian kami, neraka itu memburu kami dan perhentian kami ialah ALLAH”.

    Wallahu a'lam bishowab


    READ MORE - Janganlah Kalian Banyak Tertawa

    Memilih Nama Terbaik untuk Anak

    Kewajiban bagi orang tua adalah memilih nama terbaik bagi anaknya, baik dari sisi lafadz dan maknanya, sesuai dengan syar’iy dan lisan arab. Kadangkala pemberian nama kepada seorang anak baik adab dan diterima oleh telinga/pendangaran akan tetapi nama tersebut tidak sesuai dengan syari’at.

    Tata Tertib Pemberian Nama Seorang Anak
    1. Disukai Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Dua Suku Kata 
    Misal Abdullah, Abdurrahman. Kedua nama ini sangat disukai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana diterangkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud dll. Kedua nama ini menunjukkan penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla.
    Dan sungguh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan nama kepada anak pamannya (Abbas radhiallahu ‘anhu), Abdullah radhiallahu ‘anhuma. Kemudian para sahabat radhiallahu ‘anhum terdapat 300 orang yang kesemuanya memiliki nama Abdullah.
    Dan nama anak dari kalangan Anshor yang pertama kali setelah hijrah ke Madinah Nabawiyah adalah Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhuma.

    2. Disukai Memberikan Nama Seorang Anak Dengan Nama-nama Penghambaan Kepada Allah Dengan Nama-nama-Nya Yang Indah (Asma’ul Husna) 
    Misal: Abdul Aziz, Abdul Ghoniy dll. Dan orang yang pertama yang menamai anaknya dengan nama yang demikian adalah sahabat Ibn Marwan bin Al-Hakim.

    3. Disukai Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Nama-nama Para Nabi.
    Para ulama sepakat akan diperbolehkannya memberikan nama dengan nama para nabi.
    Diriwayatkan dari Yusuf bin Abdis Salam, ia berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nama kepadaku Yusuf” (HR. Bukhori –dalam Adabul Mufrod-; At-Tirmidzi –dalam Asy-Syama’il-). Berkata Ibnu Hajjar Al-Asqolaniy: Sanadnya Shohih.
    Dan seutama-utamanya nama para nabi adalah nama nabi dan rasul kita Muhammad bin Abdillah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

    4. Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Nama-nama Orang Sholih Dari Kalangan Kaum Muslimin.
    Telah tsabit dari hadits Mughiroh bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda:
    “Sesungguhnya mereka memberikan nama (pada anak-anak mereka) dengan nama-nama para nabi dan orang-orang sholih” (HR. Muslim).
    Kemudian para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah penghulunya orang-orang sholih bagi umat ini dan demikian juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari akhir.
    Para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa hal ini adalah baik, oleh karena itu sahabat Zubair bin ‘Awan radhiallahu ‘anhu memberikan nama kepada anak-anaknya –jumlah anaknya 9 orang- dengan nama-nama sahabat yang syahid pada waktu perang Badr. Misal: Abdullah,’Urwah, Hamzah, Ja’far, Mush’ab, ‘Ubaidah, Kholid, ‘Umar, dan Mundzir.
    READ MORE - Memilih Nama Terbaik untuk Anak